From 'Dalam Rahim Ibuku, Tak Ada Anjing' [No dog in my mother's womb]

Translated by Daniel Owen

Shadow puppet of Petruk displayed in the Honolulu Museum of Art.

CONTENTS (English / Indonesian)

My New FriendsTeman-Teman Baruku
I Fly With a Ceiling FanAku Terbang Bersama Kipas Angin
A Banana Tree on Top of a City BusPohon Pisang di Atas Bus Antar Kota 

My New Friends

My new friends piss wherever. Piss on a pillow and wipe their dicks on the wall. Ash their cigarettes in a thermos lid. Fuck, chickens are looking for feed on the mattress. My new friends have a color TV, every day it’s like looking at photo albums of their successful siblings who act like peed-on pillows— some sambal[1] scraps on the remote and pockmarks on the tip of the nose. My new friends sleep naked. On their bodies there’s a collapsed building, wild grass, a morning, and a trash cart. My new friends are like Petruk,[2] who got the gods drunk, there’s a universe in their ankles. My new friends invite me to spend the night, too sweet coffee, cracks in the lip of the glass, a mayor’s corpse under the bed. So I lie down like a sewer with my legs wide open. My new friends have a universe in their ankles, and a burnt down subdistrict office. My new friends don’t have proof of citizenship, though their bodies give off the smell of this nation’s soil. And know that this hunger is a gaping hole in the earth’s core.

My new friends are short sentences, buckets for hauling water. Salted duck eggs in their bags.

I Fly With a Ceiling Fan

I just ate a tomato. A red tomato with a little green at the edges. And thin slices, like the knife that cut my hand. The fan goes on spinning, following my head. Its blades are covered in the dry season’s dust. The fan, blades above my head, blades beneath the roof. The masses! I am the masses! The masses birthed from leaky roofs, from dismantled walls.

The fan goes on spinning, the blades, for the last hundred years. Moving drafts of air from the valley. And three days of rain above my head. My lips turned blue, turned into barbed wire. The fan, the blades above my head, like a throat that holds wild animals. You’re still held in my arms, trying to hold back time. The fan, the masses with their tomatoes bursting in the earth.

The fan. My neck like a fan, revolving, propelling. Political fan blades made from burst tomatoes. Why make a country like that, they say. Why make an army like that, they say. With all those wild worms, they say. The fan, it’s only blades above my head, blades below the roof. The masses! I am the masses. A fan that goes on spinning, for the last hundred years. Moving kings’ crowns into the Company’s[3] ships. Then cloves, sugar, coffee, garlic, pepper, kerosene for sale, for the pillaging. Chunks of gold in a cardboard box and the stench of blood on each word.

The fan goes on spinning, inviting me to build twilight, inviting night to beat the drums of resistance.


A Banana Tree on Top of an Intercity Bus
 

A banana tree, tied to the top of an intercity bus. From its body a rusty liquid leaks. Is happiness a lie made to send each being searching for food, searching for wealth? Is laughter a lie made from the chore of waiting for one’s self until sleep comes? Then lying again when looking at the dirty laundry. Cum stains on the sheets. Lonely people come to my drinking glass and leave pieces of their shed hair.

A banana tree, tied to the top of an intercity bus. From its body a rusty liquid leaks. A hole gapes, waiting, where the moon comes to look in on it each night. The intercity bus keeps on going, from station to station, dropping off passengers and picking up passengers. That bus keeps on going to pick you up one day. From its window banana leaves grow, a lush green. Each night a theatrical performance of each night happens there. A drama about how to cook bubur ayam,[4] mom and dad fucking, and banana leaves that grow on my penis. That bus keeps on going to pick you up, one day. When the banana harvest comes. The real estate developers’ eyes shoot fire. One day, when the kitchen utensils aren’t busy with empty rice sacks, when longing isn’t eating a hole into time. And morning comes to replace your pillowcase with a metaphor.

 

Teman-Teman Baruku

Teman-teman baruku kencing dimana saja. Kencing di atas bantal, dan melap venisnya ke dinding tembok. Membuang abu rokok dalam tutup termos. Ngepet, ayam-ayam mencari makan di atas kasur. Teman-teman baruku punya TV berwarna, setiap hari seperti melihat album saudara-saudaranya yang sukses, yang tingkah lakunya seperti bantal bekas kencing — ada sisa sambal di tombolnya, dan bekas cacar di ujung hidung. Teman-teman baruku tidur tidak pakai baju. Di tubuhnya ada sebuah bangunan yang ambruk, ilalang, sebuah pagi dan gerobak sampah. Teman-teman baruku seperti petruk yang membuat mabuk dewa-dewa, di mata kakinya ada semesta. Teman-teman baruku mengajak menginap, kopi yang terlalu manis, sumbing di bibir gelas, bangkai seorang gubernur di kolong tempat tidur. Lalu aku terbaring seperti sebuah got dengan kaki mengangkang. Teman-teman baruku di mata kakinya ada semesta, dan kantor kelurahan yang terbakar. Teman-teman baruku tidak punya tanda warga negara, walau tubuhnya mengeluarkan bau tanah negeri ini. Dan tahu lapar itu adalah sebuah lubang besar di dasar bumi.

Teman-teman baruku adalah kalimat-kalimat pendek, ember untuk membawa air. Dalam tasnya ada telur asin.

Aku Terbang Bersama Kipas Angin

Aku baru saja makan tomat. Tomat berwarna merah dengan sedikit hijau di sudutnya. Dan irisan-irisan tipis, seperti pisau yang pernah melukai tanganku. Kipas angin terus berputar, mengikuti kepalaku. Baling-balingnya terbungkus debu dari sebuah musim kemarau. Kipas angin itu, baling-baling di atas kepalaku, baling-baling di bawah atap rumah. Massa! Aku adalah massa! Massa yang lahir dari atap-atap rumah yang bocor, dari tembok-tembok yang terbongkar.

Kipas angin itu terus berputar, baling-baling itu, sejak 100 tahun lalu. Memindahkan hembusan angin dari lembah. Dan hujan selama tiga hari di atas kepalaku. Bibirku sudah biru, sudah menjadi kawat berduri. Kipas angin itu, baling-baling di atas kepalaku, seperti tenggorokan yang menyimpan hewan buas. Kau masih dalam pelukanku, berusaha menahan waktu. Kipas angin itu, massa dengan tomat-tomat yang meledak di dalam tanah.

Kipas angin itu. Leherku seperti kipas angin, berbaling-baling. Baling-baling politik dari tomat yang meledak. Kenapa kau membuat negara seperti itu, katanya. Kenapa membuat tentara seperti itu, katanya. Ada cacing-cacing yang buas, katanya. Kipas angin itu, hanya ada baling-baling di atas kepalaku, baling-baling di bawah atap rumah. Massa! Aku adalah massa. Kipas angin yang terus berputar sejak 100 tahun lalu. Memindahkan mahkota-mahkota raja ke dalam kapal-kapal Kompeni. Lalu cengkeh, gula, kopi, bawang putih, lada, minyak tanah dijual, dirampas. Bongkahan-bongkahan emas dalam kardus dan bau darah pada setiap kata.

Kipas angin terus berputar, mengajakku membuat senja, mengajak malam menabuh gendrang untuk melawan.

Pohon Pisang di Atas Bus Antar Kota

Di atap bus antar kota, sebatang pohon pisang terikat. Dari tubuhnya merembes cairan karat besi. Apakah kebahagiaan itu dusta untuk setiap mahluk pencari makan dan pencari harta? Apakah tawa itu dusta dari kesibukan menunggui diri sendiri hingga berangkat tidur? Lalu mulai berdusta lagi ketika memandangi cucian kotor. Bekas sperma di atas kain sprai. Orang-orang kesepian datang ke gelas minumku dan meninggalkan potongan-potongan rambut mereka yang rontok.

Di atas bus antar kota, sebatang pohon pisang terikat. Dari tubuhnya merembes cairan karat besi. Sebuah lubang yang menganga menunggunya, tempat bulan datang menjenguknya setiap malam. Bus antar kota terus berjalan dari stasiun ke stasiun, menurunkan penumpang dan membawa penumpang lainnya. Bus itu terus berjalan untuk menjemputmu suatu hari. Dari jendelanya daun-daun pisang mulai tumbuh hijau subur. Setiap malam pertunjukan drama setiap malam berlangsung di situ. Drama tentang cara-cara memasak bubur ayam, persetubuhan ayah dan ibu, dan daun-daun pisang yang tumbuh di penisku. Bus itu terus berjalan untuk menjemputmu, suatu hari. Ketika panen pisang tiba. Para penjual tanah matanya mengeluarkan api. Suatu hari, ketika alat-alat dapur tidak lagi sibuk dengan karung beras yang kosong, ketika rindu tidak lagi membuat lubang di dalam waktu. Dan pagi datang mengganti sarung bantal dengan metafor.



1. Sambal: A chili paste that very commonly accompanies a meal in Indonesia.

2. Petruk: One of the four punokawan characters that appear in Javanese shadow puppet plays and related stories. The punokawan are servants of the heroes and play a jester-like comic relief role in the plays.

3. The Company: The Dutch East India Company, a megacorporation of Dutch trading companies established in 1602 that held quasi-governmental powers and brutally colonized and exploited much of the Indonesian archipelago in its quest to dominate trade in the region.

4. Bubur Ayam: Rice porridge with chicken and sometimes other ingredients and condiments, usually eaten for breakfast.