From 'Abad Yang Berlari' [The running century]

Translated by Daniel Owen

A stamp featuring Chairil Anwar issued in 2000.

CONTENTS (English / Indonesian)

The Poet Anwar / Penyair Anwar
Hotel Architecture / Arsitektur Hotel
Channel 00 / Chanel 00

The Poet Anwar[1]

I study devotionally, Anwar, Anwar

Living off the open market in his body

Man of raw earth that quotes the dusk, Anwar, Anwar

Like a tortoise crafting stories from pillars of sand

Like an egg when the sky is a slab of rock

 

I never promised you I’d visit

 

In a city that doesn’t recognize your body

 

Leaning on a bend in the road, a kilometer sooner

I never made plans with you, Anwar, Anwar

But here we are, a photo yellowing in a wallet

A soldier’s voice, a bucket’s slosh, strands of hair abandoned on the mattress

 

My words turned to stone, Anwar, Anwar

 

A mother’s voice

 

Like a mesh of voices slung over each object

Anwar enthralls the city to itself

Stores himself inside of each word

Go on, go be a poet out there, Anwar, Anwar

 

I elapse from a story

 

Like a clump of dirt in your mouth

 

 

Hotel Architecture

 

Quiet hotel. Dead hotel. A bird goes from room to room, cutting up the mirrors. And stones make seats, and stones make doors, and stones make guests. Dada. Dead eggs fill the hotel. Give me someone.

 

The hotel changes those who come into those who go, driving their own cars, tuning their own radios, calling out to the birds in flight, dressing the emptiness in every egg. Then, Dada, nesting butterflies become dead trees, flying birds become dead hills. They wake a shattered human.

 

It’s hotel o’clock. Dada. Time is making a nest, making an egg. After all promises are deemed unholy, the wind becomes a hotel, the watermelon becomes a hotel, the cow becomes a hotel. Then the hotel windows, Dada, wait for all who have gone, wait for all who have ran off, wait for all who don’t approve. Let the guests arrive. Dada. Crack the eggs from room to room. Crack the eggs from room to room.

 

 

Channel 00

 

Just a minute.

I’m right in the middle of killing myself.

 

OK, now go on studying in that bloody TV, a flower.

 

 

 

 

 

Penyair Anwar

Aku mengaji, anwar, anwar

Hidup dari pasar terbuka dalam tubuh sendiri

Orang tanah yang mengutip senja, anwar, anwar

Seperti kura, membuat cerita dari tiang-tiang pasir

Seperti telur, kalau langit adalah sebongkah batu

 

Aku tak pernah berjanji denganmu, untuk berkunjung

 

Di sebuah kota yang tak mengenal tubuhmu

 

Tersandar di sebuah tikungan, satu kilometer lebih cepat

Aku tak pernah berencana denganmu, anwar, anwar

Tapi kita di sini juga, sebuah foto menguning dalam dompet

Suara serdadu, bunyi ember, sisa-sisa rambut di kasur

 

Ucapanku telah jadi batu juga, anwar, anwar

 

Ada suara ibu

 

Seperti jalinan suara pada setiap benda

Anwar membuat kota asyik sendiri

Menyimpan diri dalam setiap kata

Jadi penyair di luar sana, anwar, anwar

 

Aku berlalu dari cerita

 

Seperti gumpalan tanah dalam mulutmu

 

 

Arsitektur Hotel

 

Hotel sepi. Hotel mati. Seekor burung dari kamar ke kamar, menyileti cermin. Dan batu-batu membuat bangku, dan batu-batu membuat pintu, dan batu-batu membuat tamu. Dada. Telur-telur mati mengisi hotel. Beri aku orang.

 

Hotel mengubah orang-orang datang jadi orang-orang pergi, menyetir mobil sendiri, menyetel radio sendiri, memanggil burung-burung terbang, menghias sunyi di setiap telur. Maka, Dada, kupu-kupu bersarang jadi pohon mati, burung-burung terbang jadi bukit mati. Ia bangun manusia pecah.

 

Ini jam hotel. Dada. Waktu sedang membuat sarang, membuat telur. Setelah semua janji dianggap tidak suci, angin itu jadi hotel, semangka itu jadi hotel, sapi itu jadi hotel. Maka jendela-jendela hotel, Dada, menunggu semua yang pergi, menunggu semua yang lari, menunggu semua yang tak setuju.

 

Biarkan tamu-tamu datang. Dada. Memecahkan telur dari kamar ke kamar. Memecahku telur dari kamar ke kamar.

 

 

Chanel 00

 

sebentar.

saya sedang bunuh diri.

 

teruslah mengaji dalam televisi berdarah itu, bunga.


 

1. Anwar: Chairil Anwar (1922–1949), a seminal Indonesian poet widely recognized for revolutionizing Indonesian-language poetry, and something of a poète maudit character in the popular imagination.